Tumben. gHina dan aku tak mempersiapkan rencana masak kamis pekan ini. Kami pergi ke pasar Balubur penuh persiapan tapi tanpa perencanaan, kumaha engke! Sampai di depan jongko sayur langganan (wortel yang dijual di sini bentuknya serupa, bagus untuk sajian makanan), kami sengaja menepi sejenak untuk kembali berpikir.
A : mau masak apa, say?
B : bigung…
B : gimana kalo masak soto?
A : boleh juga, tau bumbunya g?
B : ntar tanya mama dulu [mulai sms]..
A : nih telp aja pake hapeku!
B : [ko g nyambung-nyambung yak??] eug, lupa uy.. mama lagi di Jakarta..
A : heuheu, tanya ibu itu aja gmn? [sambil nunjuk seorang ibu di depan jongko]
B : yuk!!
Benar ternyata, malu bertanya sesal kemudian (ada g sih peribahasa ini??). Sore harinya, kami sukses memasak soto Bandung dan tempe tepung. Ada yang kurang ternyata... kami lupa membeli kerupuk...
Haturnuhun ya, Bu!!
Lucunya, ibu itu excited sekali saat kami bertanya bumbu soto. Tampaknya beliau siap memberi tips-tips memasak jika tidak sedang terburu-buru. Jadi teringat kang Acung (tutor paling keren se-matematika, Aljabar Linear begitu simple lewat kacamata-nya), beliau terlihat sangat menikmati mengajar orang lain. Pun diriku, melihat ekspresi penasaran adik privat saat berusaha memahami materi, anggukan kepalanya saat kutanya kepahaman, binar matanya saat dapat menyelesaikan soal level II, nikmat-Nya begitu sempurna...
Tiba-tiba aku jadi sangat menyayangi Ita, Anas, Nanda, dan Ayang. Lewat mereka, kebutuhan untuk menjadi-berarti-bagi-orang-lain terpenuhi. Mengajar terkadang memang melelahkan, tetapi berlelah-lelah dalam perjuangan itu perasaan yang begitu indah. Kepuasan itu muncul tidak hanya karena proses mengajar berjalan lancar (baca=dapat menyelesaikan problem mereka), juga karena telah menyampaikan nilai-nilai kehidupan (sejauh yang kupahami tentunya). Bersama-sama dan secara sederhana, kami berharap dapat membangun modal manusia dengan kemampuan organisasi dan penguasaan kompetensi. Modal utama dalam meningkatkan daya saing. Meninggalkan kebiasaan copying menuju catch-up.
Sekilas tentang adik-adik tersayang...
Ita, perangainya begitu lembut. Selembut wajahnya. Anak pertama dari tiga bersaudara ini langsung memikat hatiku dengan sopan santun dan keramahan ’ala sunda. Lantunan ayat suci Al Qur’an lebih sering terdengar di rumahnya daripada lagu-lagu pop. Anak ini tidak mudah menyerah dalam belajar.
Ayang, sangat cerdas. Aku dapat menghemat 30% tenaga dalam mengajar saat berhadapan dengannya. Anak ini masih fresh, berada di dekatnya dapat menjaga semangat dan membuatku selalu tersenyum. Kali pertama pertemuan kembali dengannya membuatku kaget, dia sangat berbeda dengan Ayang yang kukenal hampir tujuh tahun yang lalu. Yup, aku memang sudah mengenal keluarganya sejak lama. Kakaknya dan aku, teman seperjuangan ketika SMA dulu. Jaman aku masih bau kencur, kata Mba Teja.
Anas dan Nanda, adik-adik kecil yang manis dan sangat menghargai wanita. Ekspresi heran mereka saat melihat halaqah-halaqah Al Qur’an dan deretan rapat koordinasi di Salman membuatku tersenyum simpul. Sangat berbeda dengan kultur Maranatha, mereka bilang. Berinteraksi dengan mereka adalah salah satu manifestasi dalam diversifikasi pergaulan. Oya, sepupu Anas adalah penulis terkenal yang satu pun bukunya belum pernah aku baca. Sementara Nanda, membuatku ingin berkenalan dengan ibunya. Dididik seperti apa sih, Bu? Sopan sekali anakmu ini...
Dini hari ini, aku membayangkan wajah mereka satu per satu dan berharap Allah swt. menakdirkan perjodohan kami tidak di dunia saja tapi sampai di surga-Nya kelak...